"
Ajining Raga saka Busana "
yang memiliki arti : " kehormatan badan dilihat daripakain yang di kenakan"
halo para sahabat wanita, kali ini kita akan membicarakan masalah tentang busana lagi, akan tetapi kali ini agak beda karena kita akan membahas etika berbusana itu sendiri, agar para sahabat wanita bisa paham mengapa dalam Al - Quran juga diatur pakaian untuk wanita muslim.
silahkan simak ungkapa seorang pakar berikut :
Sejarah
busana lahir seiring dengan dengan sejarah peradaban manusia itu
sendiri. Oleh karenanya, busana sudah ada sejak manusia diciptakan.
Kesimpulan ini dapat diambil dari firman Allah SWT,
“Wahai anak Adam,
janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syetan sebagaimana ia telah
mengeluarkan ibu-bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya
pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya.” [1]
Busana memiliki fungsi yang begitu
banyak, dari menutup anggota tertentu di tubuh hingga penghias tubuh.
Sebagaimana yang telah diterangkan pula oleh Allah dalam Al-Qur’an, yang
mengisyaratkan akan fungsi busana, “Wahai anak Adam (manusia),
sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi
(aurat) tubuhmu dan untuk perhiasan.” [2].
Dari tata cara, bentuk, dan mode
berbusana, manusia dapat dinilai kepribadiannya. Dengan kata lain, cara
berbusana merupakan cermin kepribadian seseorang.
Konsekwensi sebagai manusia agamis
adalah berusaha semaksimal mungkin untuk melaksanakan segala perintah
Allah dan meninggalkan segala larangan agamanya. Salah satu bentuk
perintah agama Islam adalah perintah untuk mengenakan busana yang
menutup seluruh aurat yang tidak layak untuk dinampakkan pada orang lain
yang bukan muhrim [3].
Dari situlah akhirnya muncul apa yang disebut
dengan istilah “Busana Muslimah”.
Busana muslimah adalah busana yang
sesuai dengan ajaran Islam, dan pengguna gaun tersebut mencerminkan
seorang muslimah yang taat atas ajaran agamanya dalam tata cara
berbusana. Busana muslimah bukan hanya sekedar simbol, melainkan dengan
mengenakannya, berarti seorang perempuan telah memproklamirkan kepada
makhluk Allah akan keyakinan, pandangannya terhadap dunia, dan jalan
hidup yang ia tempuh, dimana semua itu didasarkan pada keyakinan
mendalam terhadap Tuhan Yang Mahaesa dan Kuasa.
***
Budaya dan Esensi Manusia
Berbicara tentang mode, berarti
berbicara tentang seni. Berbicara tentang seni, berarti berbicara
tentang budaya. Sedangkan pokok bahasan budaya berarti tidak lepas dari
pembicaraan tentang manusia, sebagai pelaku sekaligus obyek budaya. Atas
dasar itulah, dapat diambil konklusi bahwa, berbicara tentang mode
tidak akan lepas dari pembicaraan tentang esensi manusia sebagai pondasi
dasarnya, dan kesempurnaan manusia sebagai tujuan akhir segala bentuk
ketaatan. Semua ini memiliki hubungan vertikal yang sangat erat
kaitannya antara satu dengan lainnya.
Melihat dari fenomena keragaman budaya
yang ada di dunia ini, yang terkadang antara satu budaya dengan yang
lain saling bertentangan, maka perlu ada parameter khusus yang menjadi
tolok ukur persesuaian budaya-budaya yang ada dengan esensi dasar
manusia. Sehingga dari situ akan jelas, manakah budaya yang masih sesuai
dengan esensi dasar manusia, dan manakah yang telah menyimpang darinya?
Manusia memiliki dua dimensi; dimensi
lahiriah (bersifat materi), dan dimensi batiniah (non-materi) yang biasa
disebut dengan jiwa/ruh. Menurut pandangan dunia agamis, kesempurnaan
sejati manusia bukan terletak pada kesempurnaan sisi materi, akan
tetapi, kesempurnaan sisi non-materilah yang menjadi tolok ukur
kesempurnaan manusia. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa,
esensi dasar manusia pun terletak pada sisi non-materi dan jiwanya.
Maka, kesempurnaan manusia terletak pada kesempurnaan jiwa dan ruhnya,
bukan terletak pada kesempurnaan sisi materinya. Namun, hal ini bukan
berarti sisi materi manusia harus diterlantarkan. Karena bagaimana pun
juga, sisi materi dan lahiriah manusia pun memiliki peran penting dalam
memberikan lahan pada kesempurnaan jiwanya.
Tanpa dimensi materi, kesempurnaan
sejati manusia, yang terletak pada sisi non-materi, tidak akan terwujud.
Terbukti, semua ajaran agama tidak akan terlaksana tanpa bantuan sisi
zahir dan materi manusia. Sisi non-materi yang menjadi esensi terpenting
dari manusia adalah akal dan fitrah. Dengan dua hal itulah, akhirnya
manusia dinobatkan sebagai makhluk yang paling utama dari sekian banyak
makhluk-makhluk Tuhan. Akal yang lebih banyak berfungsi untuk membedakan
baik dan buruk, dan fitrah yang selalu menyeru kepada kebenaran,
kebaikan, keindahan, dan kesempurnaan, adalah modal utama kesempurnaan
manusia. Jika dua hal itu diterlantarkan, niscaya manusia tidak layak
disebut sebagai manusia seutuhnya.
Agama tidak pernah melarang manusia
untuk mengikuti mode. Karena mode dan seni adalah salah satu
pengejawantahan dari budaya. Sedangkan budaya adalah bagian primer dari
kehidupan manusia, dimana tanpa budaya manusia tidak akan dapat menuju
kesempurnaan yang diidamkan oleh hati sanubari setiap manusia berakal
sehat. Akan tetapi, Islam adalah agama yang hendak membebaskan manusia
dari berbagai bentuk perbudakan dan keterkekangan dari segala macam
belenggu, termasuk diperbudak dan dikekang oleh mode. Mode tidak lebih
hanya sekedar sarana untuk mencapai kesempurnaan, bukan tujuan utama.
Lantas, mode, seni, dan budaya yang
bagaimanakah yang mampu menghantarkan manusia kepada kesempurnaan
manusia? Hanya budaya yang bersumber dari akal sehat dan fitrah suci
manusia saja yang mampu menghantarkan manusia kepada kesempurnaan
sejatinya, bukan dari nafsu hewani yang hanya menjurus pada bidang
material saja. Dari situ, dapat diambil benang merah bahwa, segala jenis
mode yang bersumber dari akal dan fitrahlah yang mampu menghantarkan
manusia untuk dapat menuju kesempurnaannya sebagai manusia. Dengan kata
lain, manusia akan menjadi ‘manusia’ dengan budaya akal dan fitrah.
Sebaliknya, manusia akan menjadi ‘hewan’ jika hanya menitikberatkan pada
budaya hewani yang lebih menonjolkan keindahan zahir dan sisi
glamournya saja. [4].
Sebagaimana yang telah diketahui dalam
pokok-pokok bahasan teologi bahwa, gabungan antara ajaran akal dan
fitrah ini hanya terwujud pada ajaran agama. Dan karena agama di sisi
Allah hanyalah Islam [5],
maka mode, seni, dan budaya yang Islami-lah
yang mampu menghantarkan manusia kepada kesempurnaannya.
Dari penjelasan di atas, akhirnya muncul
apa yang disebut dengan mode Islami, seni Islami, dan budaya Islam yang
“Busana Muslimah” adalah salah satu bagian dari wujud luaran (ekstensi)
konsep tersebut. Walaupun dalam perwujudan busana muslimah akan berbeda
dan dapat disesuaikan dengan kultur wilayah masing-masing, namun
terdapat kriteria universal dan batasan umum sebuah busana agar masuk
kategori busana muslimah, antara lain; bukan busana yang membuat
‘menarik perhatian’ atau ‘aneh’, baik dari sisi warna maupun bentuk
(syuhrat), tidak transparan, dan lain sebagainya.
Semua ini kembali kepada hikmah yang
tersirat dalam hijab Islami, bahwa hijab berfungsi sebagai penjagaan,
bukan bentuk pemenjaraan dan pengekangan. Dengan hijab Islami, wanita
dikenal dari sisi insanialnya, bukan sisi gendernya. Dengan hijab
Islami, wanita dipandang dengan pandangan Ilahi, bukan pandangan
syahwani.
***
Etika dan Agama
Sebagaimana klaim konsep Islam sebagai
agama paripurna, maka konsekuensinya adalah agama tersebut harus
mencakup segala aspek kehidupan manusia. Oleh karenanya, tiada satu
fenomena pun di alam ini kecuali terdapat hukumnya dalam agama tersebut,
termasuk masalah etika dan budaya. Di sisi lain, dilihat dari segi
istilah, kata etika mencakup tata krama (adab) yang disesuaikan dengan
kearifan lokal dan adat istiadat setempat. Etika juga mencakup akhlak
yang banyak dipengaruhi oleh norma-norma agamis yang bersifat global.
Etika dengan pengertian pertama di atas tadi, selama tidak bertentangan
dengan ajaran dan norma agama, maka selayaknya dijunjung tinggi dan
dilestarikan.
Jadi, sebagai orang agamis, hanya norma
dan ajaran agamalah yang menjadi filter atas tata krama dan adat
istiadat lokal. Hal itu dikarenakan, keyakinan kita akan kebenaran agama
dan konsekwensi kita sebagai pemeluk agama Ilahi. Sedangkan berkaitan
dengan etika yang berarti akhlak, dimana Islam sendiri sangat menjunjung
tinggi akhlak ini, sehingga disebut sebagai penyebab diutusnya Rasul
Islam sebagai penyempurna akhlak mulia, maka dapat dipastikan ia sangat
sesuai dengan ajaran akal dan seruan fitrah.
Etika dalam pengertian ini bersifat
universal, global, dan tidak dipengaruhi oleh batasan-batasan geografis,
budaya lokal dan adat istiadat setempat. Dari sini jelaslah bahwa
antara etika, dengan dua pengertian di atas, tidak mungkin terpisah
dengan ajaran agama, harus tetap “dalam bingkai ajaran agama” dengan
arti yang luas. [6].
Usaha apa pun untuk memisahkan antara
etika dan agama dengan mendahulukan salah satu dari yang lainnya, sama
halnya dengan pencampakkan agama itu sendiri. Dari sini akhirnya, antara
berbusana muslimah dengan menjaga etika Islam pun harus ada
keselarasan.
***
Kesimpulan
Dari tulisan ringkas ini, dapat diambil
kesimpulan bahwa, mode, seni, budaya, dan etika yang masih masuk dalam
bingkai ajaran agamalah yang sanggup menghantarkan manusia pada
kesempurnaan hakiki sebagai manusia, termasuk dalam masalah mode busana
yang berfungsi menjaga etika kepada Allah dan lingkungan sekitar,
terkhusus sesama komunitas manusia.
Dari sini pula akhirnya muncul apa yang
disebut dengan “Mode Busana Muslimah” yang masih masuk dalam koridor
ajaran agama Islam. Dan dikarenakan ajaran agama Islam bersumber dari
Dzat Yang Mahasuci dan Sakral [7], maka mode busana yang bersandar pada
ajaran sakral itu pun bersifat sakral pula.
Jadi, segala bentuk pelecehan terhadap
busana muslimah, dengan berbagai modenya yang masih masuk kategori
busana muslimah, sama halnya dengan melecehkan ajaran agama Allah.
Selain itu, menyebarkan budaya busana muslimah, sama halnya dengan
menyebarkan salah satu ajaran Allah.[kotasantri.com]
jadi Itulah Sahabat Wanita, sekilas tentang Etika dalam berpakaian ala Muslimah, karenanya tak perlu ragu dan merasa rendah diri dalam memenuhi perintah Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang